Pernikahan Dini Bukan Solusi! Simak Dampaknya!

Sumber: Freepik.com

Tahukah kamu kalau 640 juta perempuan di dunia menikah saat masih belia? Hal ini menjadi ironi sebab pernikahan dini merupakan perampasan Hak Asasi Manusia (HAM). Malah sebagian korban pernikahan dini menikah saat belum paham apa arti pernikahan itu sendiri.


Pada 2023, UNICEF menerbitkan laporan yang bertajuk Is an End to Child Marriage Within Reach?. Dari situ, kita bisa mengetahui bahwa setiap satu dari lima perempuan berusia 20 sampai 24 tahun ternyata telah menikah bahkan sebelum 18 tahun. 


Anak-anak merupakan aset masa depan dunia sehingga perlu diperhatikan agar tumbuh dengan baik. Salah satu hak anak yang sulit dipenuhi ialah pendidikan. UNESCO mengungkapkan bahwa 250 juta anak mengalami putus sekolah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, akses yang tidak merata, hingga pernikahan dini.


Mengapa Nikah Dini Bisa Terjadi?

UNICEF secara tegas menyatakan bahwa pernikahan dini merupakan kejahatan pada anak. Pernikahan dini dilandasi oleh beberapa faktor, diantaranya masalah ekonomi, pengaruh sosial, pergaulan bebas, hingga budaya dan tradisi. 


Keterbatasan ekonomi dan minimnya informasi menyebabkan kesadaran masyarakat akan pernikahan pada anak masih rendah. Di beberapa daerah, praktik pernikahan anak menjadi hal yang wajar. Praktik pernikahan dini banyak dilangsungkan di wilayah Asia dan Afrika. Di beberapa negara, pernikahan dini justru menjadi tradisi yang masih dijaga hingga sekarang. Layaknya di India yang marak ditemukan pengantin anak meski telah dilarang pemerintah setempat. Bahkan, satu per tiga dari total pengantin anak tinggal di India.


Selain budaya dan tradisi, pernikahan pada anak juga disebabkan oleh faktor ekonomi. Terkadang keterbatasan ekonomi membuat orang tua terpaksa menikahkan anaknya dengan harapan beban dapat berkurang. Anak yang sudah menikah dianggap telah mampu membiayai dan mengurus dirinya sendiri.


Pengaruh sosial juga menjadi faktor besar yang membuat pernikahan anak terus dilestarikan. Di beberapa daerah, perempuan yang belum menikah pada usia remaja dianggap tidak laku. Tekanan sosial ini kerap kali menyebabkan frustasi sehingga mau tidak mau harus mengikutinya.


Kemudian pergaulan yang terlalu bebas juga bisa menyebabkan pernikahan pada anak. Rasa penasaran yang tinggi tanpa dibarengi dengan pengawasan dan edukasi yang tepat membuat remaja berani mencoba seks bebas. Kehamilan akibat pergaulan bebas ini lah yang menyebabkan anak dinikahkan secepatnya atau disebut marriage by accident.


Dampak Pernikahan Dini pada Anak

Meski sosialisasi bahaya pernikahan dini selalu digembar-gemborkan, namun kenyataannya praktik pernikahan dini masih dilaksanakan. Baik di kota, maupun di desa, anak-anak yang menjadi korban pernikahan dini mudah dijumpai. Padahal dalam UU No.19 Tahun 2019 telah tertuang bahwa batas perkawinan antara laki-laki dan perempuan ialah 19 tahun. 


Pernikahan usia anak menjadi awal mula perampasan hak anak-anak. Anak dan remaja rentan terhadap pelanggaran hak asasi sebab belum mampu mempertahankan haknya sendiri. Untuk itu, mereka perlu dilindungi sebab masih rentan dimanipulasi dan didiskriminasi. Adapun dampak dari pernikahan dini ialah sebagai berikut:

  1. Rentan Terkena Gangguan Mental

Perkawinan seharusnya dilakukan oleh orang sudah bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Apabila anak-anak yang belum siap secara mental sudah menikah, maka akan rentan terkena gangguan mental, termasuk kecemasan, depresi, PTSD, dan gangguan disosiatif. Anak dan remaja juga belum menguasai emosinya dengan baik sehingga akan lebih mudah meledak-ledak dan sangat mungkin jika terjadi KDRT. 

  1. Pernikahan Dini Menyebabkan Putus Sekolah

Pendidikan merupakan hak setiap orang. Namun, kebanyakan korban pernikahan dini mengalami putus sekolah. Pernikahan dini telah merenggut kebanyakan hak anak terhadap akses pendidikan. 

  1. Risiko Kehamilan

Kehamilan usia remaja lebih rentan dan mudah menderita anemia dan menyebabkan tingginya risiko kematian bagi ibu dan bayi. Pernikahan dini juga menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan lainnya seperti berat bayi lahir rendah (BBLR), kejadian kematian ibu dan kematian bayi.(1,22,23), (3,6,10,24,25), (26) Risiko lainnya adalah jika jarak kelahiran yang pendek dapat berpeluang lebih besar untuk tertular HIV. 

  1. Lemahnya Ekonomi

Biasnya pernikahan dini menjerat anak-anak dari kalangan kurang mampu. Seringkali, pernikahan dipandang sebagai salah satu solusi keluar dari jeratan kemiskinan. Namun kenyataanya, pernikahan dini justru memperburuk ekonomi dan melestarikan kemiskinan struktural bila tidak dibarengi dengan kesadaran dan edukasi yang memadai.

Selain itu, anak dari orang tua yang menikah di usia belia cenderung lahir dengan berat badan rendah sehingga rentan gangguan kesehatan. Selain itu, rahim yang belum sempurna juga menyebabkan anak berisiko cedera dan menyebabkan kematian pada ibu dan anak. 


Ngagadekeun Awak dan Nikah Dini di Rumpin

Desa Rumpin, Bogor merupakan satu dari sekian banyak desa yang masih melegalkan pernikahan pada anak. Pernikahan dini di Rumpin disebabkan oleh faktor budaya dan tradisi masyarakat. Menikah dini sudah menjadi kebiasaan turun temurun yang sulit dihilangkan hingga sekarang.


Umumnya, remaja perempuan yang belum menikah setelah lulus SD akan melakukan ngagadekeun awak atau membesarkan tubuh.  Remaja tersebut akan berdiam di rumah dan membantu orang tua selama dua hingga tiga tahun, baru lah boleh melanjutkan bekerja atau menikah. Kegiatan ini dinilai bisa membuat remaja lebih siap terhadap kehamilan dan mengurangi risiko melahirkan.


Menurut Daffa, praktik pernikahan dini di Rumpin masih banyak terjadi. Pernikahan dini lebih banyak menyasar anak perempuan sebab paham patriarki yang masih melekat. Orang tua kerap kali mempertanyakan kapan menikah bila anak sudah menginjak remaja.


“Menurut saya pribadi, Rumpin tidak mengenal konsep pernikahan dini karena pernikahan dini seperti mendarah daging dalam budaya rumpin. Anak-anak, khususnya perempuan dilahirkan  dengan tujuan membahagiakan suaminya alias menikah. Maka, kalau sudah berumur 15 atau 16 dan menganggur lebih baik disegerakan menikah,” jelas Daffa.


 Keadaan ekonomi dan keterbatasan akses edukasi memaksa masyarakat Rumpin hidup dalam keputusan yang serba salah. Kehidupan di desa tersebut belum mampu ramah anak-anak. Masyarakat masih minim kesadaran akan pentingnya pendidikan sehingga kebanyakan anak tidak melanjutkan sekolah usai sekolah dasar dan memilih untuk langsung bekerja atau menikah. Keterbatasan ini lah menyebabkan pernikahan dini masih terus dilakukan.


Meski begitu, angka pernikahan dini di Rumpin terus menurun dari waktu ke waktu. Masyarakat sudah mulai sadar akan bahaya pernikahan pada anak, terlebih informasi dan edukasi mudah di dapat dari sosial media. Tak hanya di rumpin, angka pernikahan dini di Indonesia telah mengalami penurunan pesat.


Pada tahun 2021 angka perkawinan anak menurun dari 10,35 persen menjadi 9,23 persen. Kemudian menjadi 8,06 persen di tahun 2022, dan menjadi 6,92 persen pada tahun 2023. Hal ini telah melampaui target yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yaitu 8,74 persen di tahun 2024.


Angka ini masih perlu ditekan agar tak ada lagi korban pernikahan dini pada anak dan remaja. Pemerintah perlu berkolaborasi dengan masyarakat untuk mengedukasi mereka yang belum paham bahaya pernikahan dini. 


Nama Penulis: Rahma Nayali



Post a Comment

Previous Post Next Post