![]() |
sumber: iStock |
Child free bukan istilah baru. Masyarakat Eropa sudah lebih dulu melakukan budaya child free. Pada tahun 1500, istilah ini merujuk pada wanita yang enggan membesarkan anak dan ingin fokus berkarir. Namun, angkanya masih lebih rendah daripada yang ingin memiliki anak.
Di Indonesia sendiri, istilah child free semakin dikenal usai seorang YouTuber, Gitasav membeberkan keputusannya dan suami untuk tidak memiliki ketuturunan. Isu ini tentu menjadi sensitif di masyarakat. Sampai saat ini pun, child free masih menjadi kontroversi serta menimbulkan pro dan kontra.
Penyebab Child Free
Maraknya topik child free di media sosial tentu bukan tanpa alasan. Beberapa orang merasa relevan dengan ketakukan memiliki anak. Salah satu penyebabnya ialah masalah ekonomi.
"Faktornya mungkin bisa dari ekonomi yang kurang," ucap Alya Septiani.
Menurut Alya, menjadi orang tua harus siap bergandengan dengan tantangan. Orang tua berkewajiban merawat anak-anaknya dengan sebaik mungkin. Untuk itu, menjadi orang tua perlu modal. Maka tak heran, jika ekonomi menjadi pemicu child free.
"Selain ekonomi, faktor mental juga memengaruhi ya. Menjadi orang tua perlu mental yang siap. Lalu ada beberapa alasan personal," lanjutnya.
Selain itu, dikutip dari Jurnal of Islamic Law, "Dampak Child Free terhadap Ketahanan Keluarga Indonesia," child free disebabkan oleh faktor ekonomi, mental, personal, budaya, dan over populasi.
Child Free Picu Penurunan Angka Kelahiran
Angka kelahiran anak atau total fertility rate (TFR) Indonesia menurun dalam tiga dekade terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukkan adanya temuan 71 ribu wanita berusia 15-49 tahun pada periode 2023 tidak ingin memiliki anak.
Namun, menurut Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, angka itu belum begitu berdampak pada penurunan angka kelahiran di Indonesia.
"Saya meyakini kultur masyarakat Indonesia berbeda dengan negara lain. Maka saya masih yakin akan baik-baik saja," kata Wihaji, dilansir dari Detik.com
Meski begitu, Indonesia masih dibayangi oleh risiko penurunan angka kelahiran buntut tren child free. Untuk itu, edukasi terkait keluarga berencana perlu dilakukan.
Child Free di Mata Gen Z
Rani (19) merupakan mahasiswa yang berencana untuk child free. Ia mengungkap bahwa ada ketakutan dalam dirinya jika memiliki ketuturunan.
"Aku sih takutnya kalo gak bisa jadi ibu yang baik, kak. Aku juga masih belum selesai sama semua masalah pribadiku, takut ngelampiasinnya ke anak," jelasnya.
Di lain sisi, Rea (20) juga merasakan ketakutan yang sama. Ia mengungkap pandangannya terhadap child free, meski enggan melakukannya.
"Jujur, aku juga merasa takut menjadi orang tua. Aku juga paham kenapa banyak yang milih child free. Menurutku, itu gak masalah, ya. Kalau aku pribadi lebih milih untuk punya anak," tuturnya.
Nama Penulis: Rahma Nayali