Politik Uang sebagai “Kartu Joker” Pesta Demokrasi


Pada dasarnya, money politic di Indonesia seringkali dibutuhkan untuk membalikkan keadaan (joker). Baik oleh pelaku politik maupun oleh peserta politik–tiap kali kita berhadapan dengan yang namanya pesta demokrasi.

(Mahasiswa domisili Depok memegang brosur ajakan tolak politik uang) (sumber: pribadi)

ABISATYA NEWS – Money politic alias 'politik uang' memang sangat eksis layaknya kasus suap menyuap. Suap menyuap adalah akar dari kasus korupsi. Jika seseorang masih permisif terhadap hal tersebut, jangan harap pemerintah dan ‘politiknya’ bersih dari kasus korupsi lainnya.

Fenomena politik uang sangat erat dikaitkan dengan strategi serangan fajar saat pesta demokrasi, terutama saat Pilkada 2024 berlangsung. Narasi “Jangan sampai karena terima amplop serangan fajar, Kota Depok menjadi bobrok” dijadikan anekdot menarik untuk ajakan menolak politik uang. Jika Anda berdomisili Kota Depok, Anda bisa menemukannya pada brosur ajakan datang ke TPS yang diinisiasi oleh Komisi Pemilihan Umum Depok dirilis pada November 2024 lalu. Namun, bagaimana serangan fajar bisa sangat efektif dalam money politic Pilkada 2024 ini?

Muhammad Noer Fajar, S.H. (23), membagikan nostalgia khusus perihal serangan fajar yang menjadi “joker” politik uang pada pesta demokrasi. Berkaca pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu  (Bawaslu) sempat menangkap beberapa tangan 25 kasus dugaan politik uang yang dilakukan selama masa tenang. Kasus ini tersebar di beberapa provinsi. Adapun, jenis barang yang diberikan dari parpol kepada kandidat para pemilih seperti sembako, detergen, uang, dan lainnya.

Ia mengkhawatirkan bahwa politik uang adalah hal yang sudah tertanam kuat dalam budaya politik. “Ini menunjukkan bahwa politik terjadi diidentifikasi dengan materi dan kekuasaan,” ujarnya kepada saya via WhatsApp pasca Pilkada 2024 lalu. Ia menambahkan “sesuatu” yang berkaitan dengan serangan fajar bukan hanya sebatas uang, "melainkan dapat dalam bentuk sembako, voucher, pulsa, bahkan bahan bakar dan benda yang memiliki nilai ekonomi juga termasuk ke dalam politik uang."

Seakan dijadikan batu loncatan, Fajar mengungkapkan bahwa faktor politik uang terjadi salah satunya karena calon legislatif hanya ingin menang tetapi tidak memiliki program. “Sedangkan praktik politik sebatas sebagai pembantu pencalonan saja,” tegasnya. 

Lemahnya regulasi tentang politik juga menjadi faktor masifnya politik uang pada Pilkada 2024. Sebenarnya, tindak pidana politik uang diatur dalam pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017. Baik pemberi maupun penerima–dalam politik uang mereka dikatakan bersalah dan dapat dikenakan sanksi. Namun, faktor kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia lagi-lagi menjadi atensi Fajar. “Tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Mungkin itu–instrumen kultural yang dimanfaatkan dalam menjalin politik uang,” sambungnya.

Lingkaran Setan Politik Uang

Berangkat dari kacamata ekonomi, Siti Fatimah, S.E. membagikan analisis yang senada dengan Fajar. Menyebutnya dengan "lingkaran setan", rantai politik uang akan terus eksis karena masyarakat sangat terbiasa dengan kultur bahwa “pesta politik itu adalah pesta saling memberi, pesta saling mendapatkan,” ungkapnya.

Hal tersebut berakar dari paham patronase, yakni hubungan timbal balik yang kerap kali terjadi tiap kali adanya pesta demokrasi–yang mana masyarakat bisa enggan melakukan pemilihan ataupun pencoblosan karena absennya pemberian yang dilakukan oleh para pelaku politik. 

Lewat voice notes pada direct message yang dilakukan awal Desember 2024, Fatimah terus mendesak “Kalo ditanya boleh apa enggak, enggak boleh. Mereka tidak akan melaksanakan pesta demokrasi sesuai dengan undang undang kalau si calon-calon politikus ini tidak memberikan money itu sendiri, jadi masyarakat tuh enggan melakukan.”

Namun, lingkaran setan money politic ini dapat dihapuskan. Alih-alih menyebut “diminimalisir” Fatimah justru percaya dengan upaya yang konsisten dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pengawas–dapat secara bertahap mengurangi politik uang dalam demokrasi Indonesia. Salah satunya dengan para pelaku politik mengalokasikan money mereka ke dalam kampanye atau kegiatan positif yang menarik.

Demikian sangat berpengaruh karena itu dapat “menggeser paham dan fokus masyarakat dari nominal menjadi value,” ujarnya. Selain itu, kampanye dapat menambah nilai keterkenalan–sesuatu yang menarik dari mereka dapat ditonjolkan melalui kegiatan positif. “Kampanye bukan hanya tentang uang, jadi bisa melalui keluarga, atau hobi–itu sangat bisa mengalihkan dari namanya money politic,” sambungnya.

Depok Fun Run 5K

Alih-alih menggunakan strategi politik uang,  Supian Suri justru mengambil hati warga Depok melalui ekspresi hobi yang ditujukan terhadap komunitas. Calon Wali Kota yang telah meraih suara tertinggi pada Pilkada Depok 2024 tersebut sempat menggelar "Depok Fun Run 5K" November 2024 lalu.

Kegiatan yang semula direncakanan untuk komunitas dengan estimasi 50 sampai 150 peserta tersebut mendapatkan respon yang antusias dari warga Depok. Diketahui, ribuan orang memadati Jl. Boulevard, Grand Depok City, Kota Depok, pada Minggu pagi.

Kesempatan tersebut Supian Suri akui sebagai ajang untuk bertemu langsung dengan warga Depok sambil mendengarkan aspirasi mereka.  Melalui kegiatan positif yang menonjolkan minat dan hobi, Supian Suri mengatakan “Saya ingin mengetahui apa yang menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat, sehingga saya dapat menjabarkan visi dan misi saya dengan lebih tepat sasaran.” Daffa Aulia Ahmad




Post a Comment

Previous Post Next Post