Mengenang Masa Pandemi: Budaya Rewang dan COVID-19

(Sumber foto: fox2now.com)

ABISATYA NEWS COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis koronavirus. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019.

COVID-19 kemudian dikonfirmasi masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020, menjangkit dua warga Indonesia di Kota Depok dan pada Juni 2021, telah menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan lebih dari 775 juta kasus yang dikonfirmasi dan 7,05 juta kematian hingga hari ini. 

Melonjaknya kasus yang terkonfirmasi di Indonesia, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 memutuskan untuk memberlakukan pandemi COVID-19 pada 31 Maret 2020. Segala aktivitas di luar yang berpotensi penyebaran virus dan mengancam kesehatan dibatasi hingga akhirnya pada 2023, presiden menetapkan status pandemi COVID-19 telah berakhir dan mengubah COVID-19 menjadi penyakit endemik melalui Keppres No. 17 Tahun 2023.


Menjalankan pandemi selama tiga tahun bukanlah hal yang mudah dilakukan, setiap tahun kasus terus melonjak yang mengakibatkan larangan-larangan semakin rumit untuk dijalani sebagian orang. Seperti larangan berkumpul, banyak hal khususnya yang masih terbalut kental dengan budaya yang mengharuskan mengerjakan sesuatu secara beramai-ramai membuat sebagian masyarakat di beberapa wilayah mulai mengabaikan larangan pandemi untuk tetap melestarikan budayanya.


Budaya Rewang


(Sumber foto: surakarta.go.id)

Seperti yang dilakukan di beberapa kabupaten di Yogyakarta. Salah satu kota yang masih kental menjalankan budaya-budayanya, seperti rewang. Budaya rewang adalah aktivitas masyarakat atau gotong royong untuk saling membantu dalam suatu acara atau hajatan.


Umumnya rewang dilakukan ketika tetangga sekitar sedang punya hajat atau acara besar. Baik wanita maupun pria akan bersama-sama membantu meringankan tetangga yang sedang punya hajat tersebut. Para ibu lebih fokus pada kegiatan masak dan menyiapkan segala kebutuhan pangan. Mulai dari berbelanja bahan makanan, memasak makanan, menyajikannya dalam piring, hingga mencuci alat-alat dapur. Tuan rumah hanya memberikan uang untuk keperluan belanja, selanjutnya masyarakat yang mengurusnya.


Sementara bapak-bapak berkumpul untuk mempersiapkan peralatan yang akan digunakan dalam acara tersebut. Kemudian, ada juga muda-mudi yang bertugas untuk menyajikan makanan kepada tamu undangan. Budaya ini sangat erat hubungannya dengan masyarakat Jawa.


Bagi masyarakat Jawa, rewang merupakan hal yang wajib. Bukan hanya kepentingan kemanusiaan, tapi juga untuk menghindari hukum sosial. Sebab jika seseorang tidak mengikuti budaya ini, maka dapat dipastikan, ketika ia memiliki hajat nanti tidak akan mendapat bantuan dari masyarakat sekitar juga. 


Melalui budaya ini, para wanita dapat saling mengobrol dan menjalin silaturahmi. Acara ini juga menjadi momen untuk bertukar cerita maupun pengalaman masing-masing wanita. Secara tidak langsung mereka akan semakin dekat dan akan terbentuk hubungan persaudaraan satu sama lain.


Bahkan, rewang menjadi penentu keberhasilan suatu hajatan. Apabila masyarakat bergotong royong dan mempersiapkan dengan baik, maka acara dapat berjalan sukses, begitu pun sebaliknya. Maka, peran wanita sebagai kanca wingking sangat dibutuhkan dalam hal ini. Wanita bertugas untuk mengelola dan mengkoordinir dapur sebaik mungkin. Agar distribusi hidangan dapat disajikan dengan lancar.


Akibat dari stigma ini, membuat mereka mengabaikan imbauan dari pemerintah untuk tidak berkumpul dan tetap menjalankan budaya rewang ini.


Rewangan Mengancam Kesehatan


Pada tahun 2022, muncul jenis varian coronavirus yang baru akibat lonjakan gelombang ketiga, yaitu jenis Omicron. Pada tahun itu pula kembali banyak digelar acara pesta pernikahan atau hajatan yang mengakibatkan masyarakat Jawa khususnya di pedesaan yang tetap menjalankan budaya rewang dan mengabaikan peraturan selama pandemi.


“Padahal saat itu sudah banyak yang menunjukan gejala-gejala seperti sakit tenggorokan dan batuk-batuk, tapi masyarakat abai dan tidak peduli, mereka tetap melanjutkan acara rewangnya,” cerita Didi, salah satu warga sekitar yang turut berpartisipasi menjalankan budaya rewang tersebut.


“Awal-awal pandemi itu sempat nggak ada rewang sama sekali karena mengikuti anjuran pemerintah buat nggak ngumpul-ngumpul, baru lagi ada sekitar 2022-an,” lanjut Didi.


Didi juga menyebutkan bahwa tahun itu menurutnya merupakan puncak kejenuhan masyarakat, terlebih di daerah wilayahnya, karena setelah mematuhi pandemi selama dua tahun, mereka merasa tidak akan ada akhirnya jadi mulai mengabaikan anjuran pemerintah dan kembali menjalankan budayanya.


“Sejujurnya kalau pada saat itu diperiksa semua mungkin satu desa sudah disuruh isolasi mandiri, tapi orang-orang beneran abai dan menganggap itu hanya penyakit biasa,” ujar Didi.


Pada saat itu, Didi pun mengalami gejala-gejala COVID-19, namun lebih memilih mengisolasikan diri sendiri di rumah karena takut menjadi bulan-bulanan karena masih dalam suasana rewang. Didi juga menyebutkan selain itu, ia takut disalahkan karena jika ia ketahuan terjangkit COVID-19 acara hajatannya tidak akan jadi terlaksana karena ada pemeriksaan dari pemerintahan setempat dan hal ini akan menggagalkan terlaksananya budaya mereka, yaitu rewang.


Penulis: Fitri


Post a Comment

Previous Post Next Post