Kisah Ajeng Tuntut Demokrasi Dibalas Bui

(Foto: Debby Alifah Maulida)

ABISATYA NEWS - Unjuk rasa berujung kekerasan pada mahasiswa. Inilah kenyataan pahit bobolnya perlindungan hukum terhadap pers kampus. Penahanan hingga kekerasan menjadi risiko dalam memperjuangkan kedaulatan. 

Ajeng Putri Yuwono, anggota pers mahasiswa GEMA Politeknik Negeri Jakarta, menjadi saksi kelam dalam perhelatan gemuruhnya aksi demonstrasi UU Cipta Kerja yang menuai polemik pada tahun 2020 silam.


Bersama dengan dua pers mahasiswa lainnya, Ajeng melaksanakan tugas selayaknya sebagai media informasi mahasiswa. Atribut pers lengkap dikenakannya sebagai identitas pers kampus.


Nahasnya, polisi mengira Ajeng merupakan bagian dari para pendemo yang ikut terjun aksi saat itu. Tanpa basa-basi, Ajeng dan kedua pers mahasiswa tersebut digiring ke dalam Monas dengan barang-barang pribadi yang disita secara paksa. 


“Dibawa ke dalam Monas, bilangnya untuk di data,” tutur Ajeng.


Ajeng dipisahkan dengan kedua temannya. Situasi semakin kacau, mahasiswa kian lama kian riuh berdatangan. Penangkapan massal dilakukan secara paksa tanpa alasan yang rasional. 


Bersama massa aksi lainnya, Ajeng diungsikan ke Mabes Polri. Tak ada kejelasan mengapa ratusan massa aksi ini ditahan. Dengan mata kepalanya, Ajeng menyaksikan ratusan mahasiswa laki-laki ditelanjangi dada, dipukul, ditendang, dan diperlakukan tak senonoh. 


Nasib baik, Ajeng dibantu oleh LBH Pers. Namun, negosiasi yang dilakukan tak berjalan mulus. Ajeng masih harus mendekam, langkah kakinya terpaku menghitung waktu. 


Masih beradu kening dengan aparat, Ajeng dipaksa untuk menandatangani surat  pernyataan yang tak sesuai dengan apa yang Ajeng lakukan. Dengan tegas dan berani, Ajeng mencoreng pernyataan perangkap itu. 


“Di surat pernyataan itu sesuatu yang tidak aku lakukan. Jadi, aku ubah dong isinya. Terus baru aku tanda tangan pakai materai,” jelas Ajeng. 


Ajeng dipertemukan kembali dengan kedua temannya untuk diinterogasi di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus). Pertanyaan yang dilontarkan seolah merendahkan tugas mereka sebagai media kampus. 


“Kayak ditanya ngapain ke sini? Ngapain ikut-ikutan ke sini? Belajar aja di kampus yang bener. Emang ini nanti beritanya mau kaya gimana isinya? Terus nanti di publish di mana beritanya?” jelas Ajeng. 


Ajeng dan kedua temannya ditahan selama 33 jam. Seusai interogasi, mereka dibebaskan. Menurut Ajeng, tak sepantasnya mahasiswa mendapat timbal balik merugikan semacam ini. 


Sebagai mahasiswi jurnalistik, Ajeng turun ke lapangan untuk pembelajaran, bukan sebagai bentuk aksi anarkis kerusuhan. Hal ini diperkuat dengan kebebasan berakademik yang diatur dalam Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.


“Mahasiswa berhak belajar dari kegiatan-kegiatan kayak gini. Bebas melakukan kegiatan-kegiatan yang tujuannya untuk pembelajaran. Menurut aku, harusnya itu sudah cukup untuk ngelindungin kita,” pungkas Ajeng. 


Pers kampus seharusnya dapat dilindungi dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini mencakup kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan akademik yang diatur pada tataran konstitusi maupun dalam perundang-undangan.


Malangnya, bagai di anak tirikan, landasan hukum yang ada tak mampu mengendalikan keadilan. Betulkah pengesahan undang-undang tersebut diperuntukkan bagi setiap warga negara? Atau formalitas untuk menyamarkan kepentingan elit semata?


Dalam praktiknya, penyelewengan wewenang dan kekuasaan sering diagungkan-agungkan. Senjata diangkat, gas air mata ditembakkan. Seolah memberi ultimatum diam atau dibungkam. 


Kasus Ajeng sudah cukup menjadi cerminan untuk penegakan hukum terkait perlindungan pers kampus di Indonesia. Perlu berapa banyak korban lagi untuk ditumbalkan? Nyawa manusia bak mainan di tangan penguasa. 


Nama Penulis: Debby Alifah Maulida


Post a Comment

Previous Post Next Post